Hal Baru

Powered by Blogger.

Wednesday, December 29, 2010

PEMBERDAYAAN MASYARAKAT SEBAGAI FIGUR PENDUKUNG PROSES PRENCANAAN PEMBANGUNAN BANGSA


PEMBERDAYAAN MASYARAKAT

I              SEKILAS TENTANG PEMBERDAYAAN MASYARAKAT
Secara lugas pemberdayaan masyarakat dapat diartikan sebagai suatu proses yang membangun manusia atau masyarakat melalui pengembangan kemampuan masyarakat, perubahan perilaku masyarakat, dan pengorganisasian masyarakat.
Dari definisi tersebut terlihat ada 3 tujuan utama dalam pemberdayaan masyarakat yaitu mengembangkan kemampuan masyarakat, mengubah perilaku masyarakat, dan mengorganisir diri masyarakat.  Kemampuan masyarakat yang dapat dikembangkan tentunya banyak sekali seperti kemampuan untuk berusaha, kemampuan untuk mencari informasi, kemampuan untuk mengelola kegiatan, kemampuan dalam pertanian dan masih banyak lagi sesuai dengan kebutuhan atau permasalahan yang dihadapi oleh masyarakat.
Perilaku masyarakat yang perlu diubah tentunya perilaku yang merugikan masyarakat atau yang menghambat peningkatan kesejahteraan masyarakat. Contoh yang kita temui dimasyarakat seperti, anak tidak boleh sekolah, ibu hamil tidak boleh makan telor, yang membicarakan rencana pembangunan desa hanya kaum laki-laki saja, dan masih banyak lagi yang dapat kita temui dimasyarakat.
Pengorganisasian masyarakat dapat dijelaskan sebagai suatu upaya masyarakat untuk saling mengatur dalam mengelola kegiatan atau program yang mereka kembangkan. Disini masyarakat dapat membentuk panitia kerja, melakukan pembagian tugas, saling mengawasi, merencanakan kegiatan, dan lain-lain. Lembaga-lembaga adat yang sudah ada sebaiknya perlu dilibatkan karena lembaga inilah yang sudah mapan, tinggal meningkatkan kemampuannya saja.

2. Guna Pemberdayaan Masyarakat
Pemberdayaan masyarakat muncul karena adanya suatu kondisi dimasyarakat. Kondisi sosial ekonomi masyarakat yang rendah mengakibatkan mereka tidak mampu dan tidak tahu. Hal ini terjadi karena mereka tidak dapat menikmati pendidikan yang memadai. Ketidakmampuan dan ketidaktahuan masyarakat mengakibatkan produktivitas mereka rendah. Hal ini dapat terjadi karena masyarakat tidak menguasai teknologi yang dapat membantu dan meringankan pekerjaan mereka. Terpaksa masyarakat menggunakan tehnik konvensional yang sudah mereka pelajari turun temurun dengan hasil yang minimal. Terlihat secara spintas masyarakat sudah puas dengan hasil mereka, tetapi kenyataan yang sebenarnya masyarakat tidak sadar bahwa mereka masih dapat melakukan hal-hal yang lebih baik dari saat ini.
Lingkaran masalah yang dihadapi oleh masyarakat tidak dapat diputuskan rantainya pada salah satu sisi saja. Akan tetapi seluruh masalah perlu diatasi. Untuk itu masyarakat sendirilah yang perlu dijadikan sebagai pemain utama dalam mengatasi masalah-masalah mereka.

3. Cara Memberdayakan Masyarakat
Secara garis besar pemberdayaan masyarakat melalui:
1.    Pengembangan masyarakat
2.    Pengorganisasian masyarakat

Yang dikembangkan dari masyarakat yaitu potensi atau kemampuannya dan sikap hidupnya. Kemampuan masyarakat dapat meliputi antara lain kemampuan untuk bertani, berternak, melakukan wirausaha, atau ketrampilan-ketrampilan membuat home industri; dan masih banyak lagi kemampuan dan ketrampilan masyarakat yang dapat dikembangkan.
Bagaimana caranya mengembangkan kemampuan dan ketrampilan masyarakat, dapat dilakukan dengan berbagai cara. Contoh dengan mengadakan pelatihan atau mengikutkan masyarakat pada pelatihan-pelatihan pengembangan kemampuan dan ketrampilan yang dibutuhkan. Dapat juga dengan mengajak masyarakat mengunjungi kegiatan ditempat lain dengan maksud supaya masyarakat dapat melihat sekaligus belajar, kegiatan ini sering disebut dengan istilah studi banding. Dapat juga dengan menyediakan buku-buku bacaan yang sekiranya sesuai dengan kebutuhan atau peminatan masyarakat. Masih banyak bentuk lainnya yang bisa diupayakan.
Sikap hidup yang perlu diubah tentunya sikap hidup yang merugikan atau menghambat peningkatan kesejahteraan hidup. Merubah sikap bukan pekerjaan mudah. Mengapa karena masyarakat sudah bertahun-tahun bahkan puluhan tahun sudah melakukan hal itu. Untuk itu memerlukan waktu yang cukup lama untuk melakukan perubahan sikap. Caranya adalah dengan memberikan penyadaran bahwa apa yang mereka lakukan selama ini merugikan mereka. Hal ini dapat dilakukan dengan memberikan banyak informasi dengan menggunakan berbagai media, seperti buku-buku bacaan, mengajak untuk melihat tempat lain, menyetel film penerangan, dan masih banya cara lain.
Pada pengorganisasian masyarakat, kuncinya adalah menempatkan masyarakat sebagai pelakunya. Untuk itu masyarakat perlu diajak mulai dari perencanaan kegiatan, pelaksanaan, sampai pemeliharaan dan pelestarian. Pelibatan masyarakat sejak awal kegiatan memungkinkan masyarakat memiliki kesempatan belajar lebih banyak. Pada awal-awal kegiatan mungkin pendamping, sebagai pendamping akan lebih banyak memberikan informasi atau penjelasan bahkan memberikan contoh langsung. Pada tahap ini masyarakat lebih banyak belajar namun pada tahap-tahap berikutnya pendamping harus mulai memberikan kesempatan kepada masyarakat untuk mencoba melakukan sendiri hingga mampu atau bisa. Jika hal ini terjadi maka dikemudian hari pada saat pendamping meninggalkan masyarakat tersebut, masyarakat sudah mampu untuk melakukannya sendiri atau mandiri.

4. Prinsip-Prinsip Pemberdayaan Masyarakat
Ada beberapa prinsip dasar untuk mewujudkan masyarakat yang berdaya atau mandiri, yaitu:
a.    Penyadaran
Untuk dapat maju atau melakukan sesuatu, orang harus dibangunkan dari tidurnya. Demikian masyarakat juga harus dibangunkan dari “tidur” keterbelakangannya, dari kehidupannya sehari-hari yang tidak memikirkanm masa depannya. Orang yang pikirannya tertidur merasa tidak mempunyai masalah, karena mereka tidak memiliki aspirasi dan tujuan-tujuan yang harus diperjuangkan.
Penyadaran berarti bahwa masyarakat secara keseluruhan menjadi sadar bahwa mereka mempunyai tujuan-tujuan dan masalah-masalah. Masyarakat yang sadar juga mulai menemukan peluang-peluang dan memanfaatkannya, menemukan sumberdaya-sumberdaya yang ada ditempat itu yang barangkali sampai saat ini tak pernah dipikirkan orang.
Masyarakat yang sadar menjadi semakin tajam dalam mengetahui apa yang sedang terjadi baik di dalam maupun diluar masyarakatnya. Masyarakat menjadi mampu merumuskan kebutuhan-kebutuhan dan aspirasinya.
b.    Pelatihan
Pendidikan disini bukan hanya belajar membaca, menulis dan berhitung, tetapi juga meningkatkan ketrampilan-ketrampilan bertani, kerumahtanggaan, industri dan cara menggunakan pupuk. Juga belajar dari sumber-sumber yang dapat diperoleh untuk mengetahui bagaimana memakai jasa bank, bagaimana membuka rekening dan memperoleh pinjaman. Belajar tidak hanya dapat dilakukan melalui sekolah, tapi juga melalui pertemuan-pertemuan informal dan diskusi-diskusi kelompok tempat mereka membicarakan masalah-masalah mereka.
Melalui pendidikan, kesadaran masyarakat akan terus berkembang. Perlu ditekankan bahwa setiap orang dalam masyarakat harus mendapatkan pendidikan, termasuk orangtua dan kaum wanita. Ide besar yang terkandung dibalik pendidikan kaum miskin adalah bahwa pengetahuan menganggarkan kekuatan.
c.    Pengorganisasian
Agar menjadi kuat dan dapat menentukan nasibnya sendiri, suatu masyarakat tidak cukup hanya disadarkan dan dilatih ketrampilan, tapi juga harus diorganisir. Organisasi berarti bahwa segala hal dikerjakan dengan cara yang teratur, ada pembagian tugas diantara individu-individu yang akan bertanggungjawab terhadap pelaksanaan tugas masing-masing dan ada kepemimpinan yang tidak hanya terdiri dari beberapa gelintir orang tapi kepemimpinan diberbagai tingkatan.
Masyarakat tidak mungkin diorganisir tanpa pertemuan-pertemuan yang diselenggarakan secara rutin untuk mengambil keputusan-keputusan dan melihat apakah keputusan-keputusan tersebut dilaksanakan. Wakil-wakil dari semua kelompok harus berpartisipasi dalam proses pembuatan keputusan. Selain pertemuan-pertemuan rutin, mencatat keputusan-keputusan yang telah diambil. Notulen itu akan dibacakan dalam pertemuan berikutnya untuk mengetahui apakah orang-orang yang bertanggungjawab terhadap keputusan tersebut sudah melaksanakan tugasnya atau belum. Tugas-tugas harus dibagikan pada berbagai kelompok, termasuk kaum muda, kaum wanita, dan orangtua. Pembukuan yang sehat juga sangat penting. Semua orang harus mengetahui penggunaan uang dan berapa sisanya. Pembukuan harus dikontrol secara rutin misalnya setiap bulan untuk menghindari adanya penyelewengan.
d.    Pengembangan kekuatan
Kekuasaan berarti kemampuan untuk mempengaruhi orang lain. Bila dalam suatu masyarakat tidak ada penyadaran, latihan atau organisasi, orang-orangnya akan merasa tak berdaya dan tak berkekuatan. Mereka berkata “kami tidak bisa, kami tidak punya kekuatan”.
Pada saat masyarakat merasa memiliki potensi atau kekuatan, mereka tidak akan mengatakan lagi, “kami tidak bisa”, tetapi mereka akan berkata “kami mampu!”. Masyarakat menjadi percaya diri. Nasib mereka berada di tangan mereka sendiri. Pada kondisi seperti ini bantuan yang bersifat fisik, uang, teknologi dsb. Hanya sebagai sarana perubahan sikap.
Bila masyarakat mempunyai kekuatan, setengah perjuangan untuk pembangunan sudah dimenangkan. Tetapi perlu ditekankan kekuatan itu benar-benar dari masyarakat bukan dari satu atau dua orang pemimpin saja. Kekuatan masyarakat harus mengontrol kekuasaan para pemimpin.
e.    Membangun Dinamika
Dinamika orang miskin berarti bahwa masyarakat itu sendiri yang memutuskan dan melaksanakan program-programnya sesuai dengan rencana yang sudah digariskan dan diputuskan sendiri. Dalam konteks ini keputusan-keputusan sedapat mungkin harus diambil di dalam masyarakat sendiri, bukan diluar masyarakat tersebut. Lebih jauh lagi,  keputusan-keputusan harus diambil dari dalam masyarakar sendiri. Semakin berkurangnya kontrol dari masyarakat terhadap keputusan-keputusan itu, semakin besarlah bahaya bahwa orang-orang  tidak mengetahui keputusan-keputusan tersebut atau bahkan keputusan-keputusan itu keliru. Hal prinsip bahwa keputusan harus diambil sedekat mungkin dengan tempat pelaksanaan atau sasaran.

5. Peranan Pendamping
Pendamping yang dimaksudkan disini, dapat KM kabupaten, Fasilitator Kecamatan, Asisten Fasilitator Kecamatan, Fasilitator Desa, Camat, PJOK, atau nama pendamping lainnya. Pada dasarnya siapa saja yang berperan mendampingi masyarakat dikategorikan sebagai pendamping. Secara garis besar pendamping masyarakat memiliki 3 peran yaitu: pembimbing, enabler, dan ahli.
1.     Sebagai pembimbing, pendamping memiliki tugas utama yaitu membantu masyarakat untuk memutuskan/menetapkan tindakan. Disini pendamping perlu memberikan banyak informasi kepada masyarakat, agar masyarakat memiliki pengetahuan yang memadai untuk dapat memilih dan menetapkan tindakan yang dapat menyelesaikan masalah mereka.
2.     Sebagai enabler, dengan kemampuan fasilitasinya pendamping mendorong masyarakat untuk mengenali masalah atau kebutuhannya berikut potensinya. Mendorong masyarakat untuk mengenali kondisinya, menjadi begitu penting karena hal ini adalah langkah awal untuk memulai kegiatan yang berorientasi pada peningkatan kemampuan masyarakat. Ketrampilan fasilitasi dan komunikasi sangat dibutuhkan untuk menjalankan peran ini.
3.     Sebagai ahli, pendamping dengan ketrampilan khusus yang diperoleh dari lingkup pendidikannya atau dari pengalamannya dapat memberikan keterangan-keterangan teknis yang dibutuhkan oleh masyarakat saat mereka melaksanakan kegiatannya. Keteranga-keterangan yang diberikan oleh pendamping bukan bersifat mendikte masyarakat melainkan berupa penyampaian fakta-fakta saja. Biarkan masyarakat yang memutuskan tindakan yang akan diambil. Untuk itu pendamping perlu memberikan banyak fakta atau contoh-contoh agar masyarakat lebih mudah untuk mengambil sikap atau keputusan dengan benar.
Pendamping dalam ruang lingkup pemberdayaan masyarakat perlu menyadari, bahwa peran utamanya melakukan pembelajaran kepada masyarakat. Peran ini semestinya terus berkurang pada tahap-tahap hingga akhirnya pada saat pelestarian masyarakat lah yang melakukan sendiri. Jika ini terwujud maka sebagai pendamping masyarakat dapat dikatakan sukses dalam pekerjaannya.


II. PEMBERDAYAAN MASYARAKAT DALAM PEMBANGUNAN EKONOMI DESA
(Studi Kasus: Desa Kedungrejo, Kecamatan Jabon, Kabupaten Sidoarjo)

Untuk memulihkan kondisi ekonomi yang memburuk akibat munculnya krisis ekonomi, diperlukan upaya yang kom-prehensif dan efektif sebagaimana yang tercantum dalam program pembangunan nasional (Propenas) yang menghendaki agar dilaksanakannya pro-gram pemberdayaan masyarakat untuk memulihkan kondisi ekonomi.
Kesenjangan merupakan kenyataan yang ada dalam pembangunan yang memerlukan pemecahan dengan pemi-hakan dan pemberdayaan bagi pelaku ekonomi lemah secara nyata (Somoedi-ningrat, 1997).
Oleh karena itu, akan diusahakan pergeseran dari paradigma pertumbuhan menuju paradigma pembangunan yang bertumpu pada pemerataan dengan kekuatan ekonomi rakyat, usaha kecil, usaha menengah dan koperasi dengan memberikan kepada mereka kesempatan yang sama seperti kesempatan yang diberikan kepada usaha besar.
Konsep pemberdayaan merupakan paradigma baru dalam pembangunan masyarakat yang melibatkan masyarakat dalam kegiatan pembangunan baik dalam perencanaan, pelaksanaan maupun evaluasi.
Priyono (1996) memberikan makna pemberdayaan masyarakat sebagai upaya menjadikan suasana kemanusiaan yang adil dan beradab menjadi semakin efektif secara struktural, baikdalam kehidupan keluarga, masyarakat, negara, regional, internasional maupun dalam bidang politik, ekonomi, psikologi dan lain-lain. Memberdayakan masyarakat mengandung makna mengembangkan, memandirikan, menswadayakan dan memperkuat posisi tawar-menawar masyarakat lapisan bawah terhadap kekuatan penekan di segala bidang dan sektor kehidupan.
Pemberdayaan masyarakat harus dipandang sebagai upaya untuk mempercepat dan memperluas upaya penang-gulangan kemiskinan melalui koordinasi berbagai kebijakan, program dan kegiatan pembangunan, baik di tingkat pusat maupun daerah sehingga efektivitasnya me-miliki signifikansi yang besar terhadap penanggulangan kemiskinan.
Pembangunan Daerah Kabupaten Sidoarjo melalui program-programnya seperti Gardu Taskin (Gerakan Mendukung Pengentasan Kemiskinan, bantuan langsung desa tertinggal non IDT, JPS, dan GKD telah banyak melakukan usaha pengentasan kemiskinan dalam rangka pemberdayaan masyarakat pedesaan, khususnya di Desa Kedungrejo, Kecamatan Jabon, Kabupaten Sidoarjo dengan ke-bijakan utama pengembangan industri kecil atau industri rumah tangga. Sebagai hasil dari Program tersebut antara lain: mengikutsertakan pengusaha krupuk ikan pada event-event tertentu, seperti: pameran Expo, Rood  Show dan lain-lain untuk memperluas jangkauan pemasaran.
Proses pelaksanaan pemberdayaan ekonomi masyarakat industri krupuk ikan, melalui beberapa tahap, yaitu: tahap pelepasan, tahap pengelompokan diri, dan tahap pengembangan diri.
Peran stakeholders (pemerintah dan kelompok) dalam pelaksanaan pem-berdayaan ekonomi industri krupuk ikan di Desa Kedungrejo, yaitu: peran Pemerintah Kabupaten Sidoarjo dan Kelompok Usaha Bersama (KUB) “Setia Abadi”.
Kendala-kendala yang ditemukan dalam pemberdayaan ekonomi masyarakat industri krupuk ikan, yaitu: kendala internal dan kendala eksternal.

Keberhasilan Program:
Mengacu pada tahapan-tahapan dalam proses pemberdayaan masyarakat, yaitu fase pelepasan diri, fase pengelompokkan diri dan fase pengembangan diri, pengusaha industri krupuk ikan di Desa Kedungrejo sudah sampai pada fase pengembangan diri. Namun apabila dicermati secara lebih mendalam masing-masing tahapan tersebut secara menyeluruh belum dapat dilalui dengan baik. Pada fase pengelompokan diri, pengusaha krupuk ikan membentuk Kelompok Usaha Bersama “Setia Abadi”. Namun dalam pelaksanaannya masih belum menunjukkan eksistensinya sebagai kelompok yang membantu mengembangkan para anggo-tanya agar mampu meningkatkan peng-hasilan dan kesejahteraannya.
Bertitik tolak dari kondisi tersebut, maka disusunlah program-program pemberdayaan masyarakat pengusaha krupuk ikan di Desa Kedungrejo, baik program Pemerintah Kabupaten Sidoarjo melalui “Tridaya”, maupun program KUB “Setia Abadi” untuk memperoleh bantuan kredit dari salah satu bank melalui bantuan Dinas Koperasi Kabupaten Sidoarjo.
Proses pemberdayaan masyarakat berlangsung sangat lama dan melalui perjalanan panjang yang sangat rumit, artinya apa yang diperoleh pada saat ini merupakan hasil yang didapatkan dari perjuangan berat sekelompok masyarakat pengusaha industri kecil krupuk ikan di Desa Kedungrejo secara bertahap dan mengalami kondisi pasang surut.
Proses pemberdayaan masyarakat pengusaha industri kecil krupuk ikan Kedungrejo bersifat independen, artinya proses menuju kondisi pemberdayaan sangat tergantung kepada individu itu sendiri.
Pemberdayaan masyarakat dilakukan melalui tiga arah, yakni:
1. Melalui penciptaan suasana atau iklim yang me-mungkinkan masyarakat berkembang (ena-bling),
2. Memperkuat potensi atau sumber daya yang dimiliki oleh masyarakat (empowerment),
3. Perlindungan terhadap pihak yang lemah agar tidak menjadi semakin lemah dalam menghadapi pihak yang lebih kuat.
Ketiga arah pemberdayaan tersebut berpangkal pada dua sasaran utama, yaitu: melepaskan belenggu kemiskinan dan keterbelakangan serta mempererat posisi masyarakat dalam struktur kekuasaan (Soemodiningrat, 1997).
Untuk mencapai sasaran tersebut, proses pemberdayaan masyarakat dapat dilakukan melalui 3 tahap, yaitu:
1) Inisial, dari pemerintah oleh pemerintah, untuk rakyat;
2) Partisipatoris, dari pemerintah, bersama pemerintah, oleh pemerintah ber-sama masyarakat untuk rakyat;
3) Emansipatif, dari rakyat, oleh rakyat dan untuk rakyat, serta didukung oleh pemerintah bersama rakyat (Vidyandika dan Pranarka, 1996).
Dalam pemberdayaan masyarakat,  Pemerintah Kabupaten Sidoarjo berperan dalam:
a) Meningkatkan ketersediaan sarana dan prasarana pedesaan untuk mendukung proses produksi, pengolahan dan pemasaran serta pelayanan sosial masyarakat;
b) Meningkatkan partisipasi dalam pengelolaan pemanfaatan dan peningkatan maupun kelestarian sumber daya alam dan lingkungan hidup untuk menopang kehidupan sosial ekonomi masyarakat pedesaan;
c) Mengembangkan kelembagaan yang dapat mempercepat proses modernisasi perekonomian masyarakat pedesaan melalui pengembangan agribisnis dengan memfokuskan kepada pengembangan organisasi bisnis terutama yang dikuasai oleh masyarakat dengan didukung oleh pelaku ekonomi lainnya secara kemitraan;
d) Meningkatkan investasi dalam pengembangan sumber daya manusia yang dapat mendorong produktivitas, kewiraswastaan dan ketahanan sosial masyarakat pedesaan untuk mengembangkan kehidupan ekonomi sosial masyarakat.
Adapun Kelompok Usaha Bersama (KUB) berperan dalam pemberian bantuan modal usaha melalui dana bergulir yang disalurkan kepada Kelompok Usaha Bersama. KUB juga membina, mengarahkan dan mengendalikan pemberdayaan masyarakat termasuk dalam membuka peluang pasar terutama pasar luar daerah dan pasar ekspor.
Kendala-kendala yang dihadapi dalam pelaksanaan pemberdayaan masya-rakat adalah:
1) Kendala internal, yakni:
a. Terbatasnya kemampuan sumber daya ma-nusia,
b. Tidak tersedianya bahan baku pembuatan krupuk ikan,
c. Keterbatasan kemampuan manajerial,
d. Tidak adanya kemampuan mengelola peluang pasar yang ada dan terbatasnya modal usaha yang dimiliki;
2) Kendala eksternal, yakni:
a. Akses KUB sebagai mitra pemerintah dan sekaligus sebagai jembatan antara peme-rintah dengan pengusaha krupuk ikan kurang otpimal,
b). Belum adanya pihak swasta yang benar-benar memberikan ban-tuan modal usaha sebagai partisipasi dalam pemberdayaan ekonomi masyarakat.


III.  PERAN DINAS KESEHATAN DALAM PEMBERDAYAAN MASYARAKAT
(Studi Kasus: Kabupaten Polewali Mandar, Propinsi Sulawesi Barat)

Bertitik tolak dari tugas dan fungsi Dinas Kesehatan Kabupaten Polewali Mandar Propinsi Sulawesi Barat yaitu menyelenggarakan urusan Pemerintahan Kabupaten dalam hal upaya kesehatan meliputi bidang kesehatan dan kesekretariatan yang menjadi tanggung jawabnya berdasarkan azas otonomi dan tugas perbantuan yang diberikan pemerintah. Peran Kepala Dinas Kesehatan  Kabupaten dalam pemberdayaan masyarakat untuk penyediaan air bersih adalah sebagai seorang MANAJER dalam pengembangan masyarakat bidang kesehatan, masyarakat difungsikan, masyarakat dimotivasi, masyarakat bisa berbuat.
Sebagai seorang manajer, kepala Dinas Kesehatan mewakili Peran Pemerintah Kabupaten Polewali Mandar  adalah memfasilitasi pembangunan kesehatan meliputi
1.     Sebagai Perintis pengembangan masyarakat bidang kesehatan.
2.     Sebagai Pemberi pelayanan kesehatan pada masyarakat
3.     Pembangkit kemampuan Masyarakat untuk hidup sehat. Bagian ini diambil dari vaiabel keterlibatan suatu instansi dalam proses pembangunan yang dapat dilihat dari segi peran yang diberikan.  
Disamping mewakili peran pemerintah karena tugas pokoknya juga mengorganisasikan dan menggerakan provider kesehatan dalam menumbuh-kembangkan inovasi-inovasi dari masyarakat sebagai titil awal perberdayaan masyarakat dalam penyediaan air bersih pedesaan. Di Kabupaten Polewali Mandar Propinsi Sulawesi Barat  beberapa proyek/program  pemberdayaan masyarakat dalam penyediaan air bersih di pedesaan  yang telah berkembang diantaranya :
  1. Proyek WSLIC-2  dengan Community Fasilitator Tiem (CFT) yang melakukan pendampingan terhadap Tim Kerja Masyarakat (TKM)
  2. Program Kesehatan Masyarakat Kerja sama dengan YIS dengan membentuk  Kelompok Swadaya Masyarakat (KSM) Sanitasi dan Tim Kesehatan Masyarakat
  3. LSM Lokal yang bergerak dalam bidang kesehatan yaitu Mandar sehat
Proyek WSLIC -2 :
Second Proyek Water Sanitation For Low Income Communities yang selanjutnya disingkat WSLIC-2, dimana  Depkes RI sebagai executive Agen yang MoUnya ditandatangani tanggal 20 Juni 2000 dan efektif tanggal 16 Desember 2008 serta akan berakhir ( closing date) tanggal  30 Juni 2009.  Proyek ini mempunyai gambaran (ciri) sebagai berikut :
1.     Ditujukan bagi masyarakat di pedesaan yang kurang atau tidak mendapatkan akses Air Bersih dan  Sanitasi yang layak
2.     Melibatkan Lintas Sektor dan Lintas Program
3.     Sensitif Gender dan Kelompok Miskin
4.     Pemberdayaan Masyarakat  (Perencanaan, Pelaksanaan, Pengelolaan dan Monitoring)
5.     Dana Langsung ke Rekening Masyarakat
6.     Masyarakat berkontribusi (Tenaga dan Bahan Lokal)
Komposisi pendanaan diperolah dari Bank Dunia  sebesar 72  %, Bantuan daerah 8 %, dan kontribusi masyarakat 20 %. Setiap desa dapat mengajukan dana sebesar sekitar Rp 280 jutaan,  dana ini diperuntukan untuk tiga komponen. Pertama  Penyediaan sarana air bersih dan sanitasi, kedua Perilaku Hidup Bersih dan Sehat (PHBS) sekolah dan masyarakat dan Ketiga adalah Penguatan Kelembagaan. Kontribusi masyarakat yang diharapkan adalah 20 %, kontribusi inilah sebagai tahap awal dimulainya pemberdayaan masyarakat dalam penyediaan air bersih. Dari 20 % diharapkan masyarakat dapat menyediakan dana in cash ( uang tunai) sebesar  4 % dan in kind 16 % berupa  kontribusi dalam menyediakan tenaga dan bahan-bahan lokal yang apabila dinilai dengan uang sekitar  16 % dari total dana yang diterima desa.
Dengan adanya kontribusi ini masyarakat dilokasi proyek diarahkan pada timbulnya kepedulian dan rasa memiliki PROGRAM dalam berbagai bentuk PARTISIPASI, oleh karena itu  peran kepala dinas kesehatan atau juga Dinas Kesehatan  dapat mengfungsikan dan memotivasi masyarakat untuk munculnya  partisipasi dalam setiap tahapan pemberdayaan masyarakat adalah sangat penting.

Pemberdayaan Masyarakat:
Pemberdayaan masyarakat itu sendiri pada dasar adalah  kegiatan menfasilitasi masyarakat  yang bersifat non instruktif guna :meningkatkan pengetahuan dan pemahaman masyarakat agar mampu mengidentifikasi masalah, merencanakan dan melakukan pemecahannya dengan memanfaatkan potensi setempat dan fasilitas yang ada.
Strategi yang dilakukan dalam  pemberdayaan masyarakat untuk penyediaan sarana air bersih pedesaan adalah:
1.    Membangkitkan gotong royong.
2.    Dapat bekerja sama dengan masyarakat.
3.    Menumbuh-kembangkan potensi dan kontribusi masyakarat.
4.    Komunikasi Edukasi dan Informasi yang berbasis masyarakat.
5.    Membangun Kemitraan dengan berbagai macam pendekatan misalnya pendekatan kelompok.
6.    dan  yang penting juga adalah semangat desentralisasi.
Sementara ciri pemberdayaan yang terlihat diantaranya pengambilan keputusan oleh masyarakat melalui kelompok-kelompok yang terbentuk. Setiap kelompok mampu mempresentasekan setiap rencana kerjanya, yang pada prisipnya setiap masyarakat dapat berinovasi dan mengeluarkan ide-ide dan konsep yang akan dikembangkan. Disamping itu juga masyarakat mampu berkontribusi baik secara in cash maupun inkind dan yang terakhir adalah masyarakat mau mengunakan sarana yang dibangun.
Pada awal program ada 100 (seratus) desa di Kabupaten Polewali Mandar yang menjadi lokasi pemberdayaan, namun hanya 80 desa yang berhasil dilaksanakan dengan metode partisipatory asessment atau partisipatory health and Sanitation ( MPA/PHASt). Dari 80 desa ini hanya 76 desa yang berhasil membentuk Tim Kerja Masyarakat dengan rencana kerja masyarakat terhadap tiga komponen kegiatan  air bersih dan sanitasi, PHBS anak sekolah dan masyaralat serta penguatan kelembagaan Tim Kerja Masyarakat yang ditandai dengan dikeluarkannya Surat Permohonan Permintaan Barang (SPPB) dan selanjutnya pembangunan termin pertama dimulai, tidak semua desa dapat berjalan sesuai dengan rencana, hanya ada 66 desa yang terus melanjutkan pembangunannya sampai termin II dan III, bahkan sampai dengan penyelesaian fisik 100% dan sarananya  berfungsi. Sampai dengan periode Oktober 2008 sudah ada 43 desa yang sudah mencapai pasca kontruksi dan berhasil membuat Surat Pernyataan Penyelesaian Pekerjaan Proyek (SP4).  Sungguh proses pemberdayaan masyarakat yang tidaklah mudah membalikan tangan, masyarakat benar-benar harus difungsikan dan dimotivasi terus-menerus untuk mendapat kemandirian dalam menyediakan sarana air bersih.
Dalam Penyediaan air bersih di pedesaan yang dimulai dengan membuat rencana sesuai dengan opsi-opsi yang ditawar dalam kelompok (tim), mereka bisa memilih opsi sumur gali, perpipaan umum maupun keluarga, semua difasilitasi oleh pendamping tehnis maupun pemberdayaan yang terhimpun dalam Community Fasilitator Tiem.
Hasil yang didapatkan berupa peningkatan cakupan air bersih dikabupaten Polewali Mandar dari tahun 2003 sampai dengan tahun 2007 terus mengalami peningkatan, yang dulu air adalah masih merupakan masalah terutama didusun-dusun yang sumber air jauh atau sungai yang selalu kotor, sekarang semuanya sudah terpenuhi, terutama di 43 desa yang telah selesai pelaksanaan proyeknya.
Keberhasilan pemberdayaan masyarakat dalam penyediaan air bersih:
Keberhasilan pemberdayaan dalam penyediaan air bersih ini dapat dilihat dari  peningkatan produktifitas kerja, karena masyarakat difungsikan dan masyarakat  dimotivasi termasuk didalamnya karena  difungsikannya lintas sektoral. Keberhasilan yang dilihat dari  peningkaan produktifitas dapat dilihat dari waktu yang dulunya tersita untuk digunakan mengambil air (pagi 3 jam + Sore 3 jam=6 jam tersita). Setelah adanya sarana air bersih  waktu tersebut dapat digunakan untuk kegiatan yang lain untuk meningkatkan income perkapita, rata-rata mereka ada tambahan penghasilan Rp. 15.000.-per  harinya. Data dari PT ASKES dan 456 KK miskin mengalami peningkatan  ekonominya, 279 KK diantaranya berada di daerah intervensi WSLIC-2.
Sementara itu keberhasilan  karena masyarakat di fungsikan adalah Masyarakat berperan serta dalam menikmati hasil Pengadaan air bersih, Ikut Serta melaksanakan program pengadaan air bersih misalnya mampu membangun Sarana Air Bersih (SAB), Memelihara hasil program (sarana dan prasarana air bersih) dan Merencanakan program secara partisipatif.
Keberhasilan karena masyarakat termotivasi diantaranya masyarakat mau bekerja, kemauan untuk berperan serta, berpartisipasi dalam menyumbang gagasan-gagasan dan kritik membangun, dan pengembangan Daya Cipta lainnya.
Keberhasilan karena lintas sektoral difungsikan dimulainya dengan rencana tim Koordinasi Kabupaten  kemudian SKPD (Kesehatan) menyampaikan masalah dan kendala serta kemajuan. Tim Koordinasi Kabupaten menawarkan solusi pendanaan dan partisipasi masyarakat. Dan diakhiri dengan penggerakan tenaga Tim Koordinasi Kecamatan untuk lebih partisipasi dalam bentuk in kind (bahan dan tenaga).

Tantangan Keberhasilan:
Sebelum program WSLIC-2 di laksanakan banyak desa-desa diwilayah kabupaten Polewali Mandar ditemukan jamban keluarga (Close Set) ditemukan dibawah kolong rumah penduduk atau ditempat-tempat yang sudah terbangun tapi tidak difungsikan, masyarakat pengguna mengatakan bahwa ketidak tersediannya air bersihlah penyebab dari tidak difungsikannya jamban keluarga yang dibagikan oleh pemerintah. Keadaan sekarang  ( ditahun 2008) di lokasi SWLIC-2  air telah tercukupi, peningkatan cakupan air bersih ternyata sebaliknya tidak dibarengi dengan peningkatan cakupan penggunaan jamban keluarga. Masyarakat sebagian besar masih buang hajat (Buang Air Besar) disembarang tempat, sehingga ditahun 2008 ini  dilokasi WSLIC-2 banyak ditemukan kasus diare bahkan ada yang meninggal dunia.
Sehingga tantangan keberhasilan pemberdayaan masyarakat dalam menyediakan sarana air bersih ke depan adalah meningkatkan cakupan penggunaan jamban keluarga dan yang lebih penting juga adalah program yang akan diluncurkan pemerintah yaitu Sanitasi Total Berbasis Masyarakat sebagai model pemberdayaan masyarakat  yang tepat sebagai tindak lanjut dari pemberdayaan masyarakat dalam penyediaan air bersih yang lebih menekankan pada perubahan perilaku hidup bersih dan sehat.
IV.          PERAN MEDIA KOMUNITAS DALAM PEMBERDAYAAN MASYARAKAT
Membicarakan tentang media komunitas tidak mungkin lepas dari isu-isu atau masalah-masalah yang dihadapi oleh komunitas. Salah satu isu penting yang banyak dibicarakan sampai saat ini adalah perlunya penguatan komunitas setelah sekian lama komunitas kehilangan otonominya akibat pendekatan pembangunan yang dijalankan oleh rezim Orde Baru. Menurut Hanif Suranto (2006), paradigma developmentalisme (ideologi pembangunan) yang menjadi landasan pembangunan Orde Baru ternyata telah melahirkan sejumlah problem yang dihadapi berbagai komunitas. Antara lain hancurnya identitas kultural dan perangkat kelembagaan yang dimiliki komunitas akibat penyeragaman oleh Orde Baru; hancurnya basis sumber daya alam (ekonomi) komunitas akibat eksploitasi oleh negara atas nama pembangunan; serta melemahnya kapasitas komunitas dalam menghadapi problem-problem komunitas akibat dominasi negara. Selanjutnya Hanif Suranto menyatakan bahwa kondisi-kondisi tersebut menampilkan wujudnya paling nyata dalam berbagai konflik antara komunitas dengan negara, maupun intra/antar komunitas akibat intervensi manipulatif oleh negara. Konflik Ambon, Poso, Aceh, Papua. Serta berbagai konflik lainnya merupakan beberapa contoh yang nyata dihadapi di Negara Indonesia.
Gagasan tentang media komunitas berakar dari kritik-kritik terhadap pendekatan komunikasi model liberal yang mekanistik, vertikal dan linier yang telah diterapkan dalam model pembangunanisme. Model komunikasi yang telah diterapkan pada masa rezim Orde Baru, seperti sistem media massa yang dirancang memberikan pesan secara baku dan bersifat dari atas ke bawah (top down) serta menempatkan masyarakat sebagai obyek dan bersifat pasif, ternyata banyak menimbulkan masalah. Masalah-masalah dimaksud antara lain adalah :
1.   Sifatnya yang top down/elitis/vertikal/searah telah menciptakan jurang informasi antara elit dan masyarakat kebanyakan. Elit yang jumlahnya sedikit menjadi kaya media/informasi karena memliki akses yang besar terhadap media; mampu membaca dan membeli. Sementara masyarakat kebanyakan tetap miskin media/informasi karena tidak memiliki akses yang cukup, baik dari sisi ekonomi maupun budaya.
2. Struktur komunikasi yang feodalistik pada model tersebut juga cenderung manipulatif/eksploitatif karena adanya monopoli sumber-sumber media dan dominasi elit pemberi pesan terhadap masyarakat sebagai penerima pesan (Hanif Suranto; 2006).
Keberadaan media massa pada rezim Orde Baru tersebut dapat dikatakan cenderung menggunakan pendekatan Marxisme Klasik, yaitu media massa merupakan alat produksi yang keberadaaanya disesuaikan dengan tipe umum industri kapitalis beserta faktor-faktor produksi dan hubungan produksinya. Terkait dengan pendekatan marxisme klasik tersebut, Budhi Suprapto (2006) menyatakan bahwa media cenderung dimonopoli oleh kelas kapitalis, yang penanganannya bisa dilaksanakan baik secara nasional maupun internasional, untuk memenuhi kepentingan kelas sosial tersebut. Dalam kenyataan yang demikian media bersifat dan berperilaku eksploitatif, baik secara sosial-budaya maupun secara ekonomi. Dengan bahasa yang lebih gampang, dapat dikatakan bahwa media lebih berfungsi sebagai tangan panjang dari pemilik kekuasaan politik dan ekonomi atau kaum kapitalis daripada sebagai sarana yang menyuarakan kepentingan kelas masyarakat kebanyakan. Hal itu dilakukan oleh pihak kaum kapitalis atau penguasa dengan cara mengeksploitasi para pekerja seni dan budaya serta konsumen media secara materiil, sehingga memperoleh keuntungan yang berlipat. Sedangkan secara ideologis, mereka menyebarkan ide dan cara pandang mereka atau cara pandang kelas penguasa, dengan tujuan agar tidak timbul kesadaran diri dalam benak setiap anggota masyarakat kebanyakan atau kelas powerless.
Kritik atas kegagalan model komunikasi pada rezim Orde Baru tersebut di atas telah mendorong munculnya model komunikasi yang partisipatif, yaitu menekankan partisipasi grassroots dalam proses komunikasi sehingga komunitas diharapkan mampu merancang standart dan prioritas sendiri yang mungkin unik untuk mengatasi masalah yang mereka hadapi. Peran komunikasi dalam model ini lebih komplek dan bervariasi serta tergantung pada strandar dan tujuan normatif dari komunitas tersebut. Oleh karena itu, komunikasi partisipatif setidaknya dapat membantu pengembangan identitas kultural, bertindak sebagai wahana ekspresi diri masyarakat dalam komunitas, menyediakan sebagai alat untuk mendiagnosa masalah-masalah komunitas, serta memfasilitasi artikulasi problem-problem komunitas.



Dalam konteks proses komunikasi, partisipasi yang dimaksud dalam model media komunitas terkait dengan tiga hal, yaitu :
1.     Soal akses. Secara singkat akses dapat diartikan sebagai kesempatan untuk menikmati sistem komunikasi yang ada. Dalam prakteknya hal ini ada dua tingkatan, yaitu kesempatan untuk ikut memilih dan memperoleh umpan balik dari sistem komunikasi yang ada;
2.     Soal partisipasi. Partisipasi mengandung pengertian pelibatan anggota komunitas dalam proses pembuatan dan pengelolaan sistem komunikasi yang ada. Dalam penerapannya pelibatan ini dilaksanakan pada semua tingkatan mulai dari tingkat perencanaan, tingkat pengambilan keputusan serta tingkat produksi;
3.     Soal swakelola dan swadaya. Ini adalah partisipasi yang paling maju. Dalam konteks ini, anggota komunitas mempunyai kekuasaan dalam pengambilan keputusan yang menyangkut komunikasi. Kekuasaan ini tidak hanya berkenaan dengan akses untuk memperoleh informasi dan untuk berperan serta dalam mengelola sarana akses produksi, melainkan juga menyangkut pengelolaan komunitas terhadap sistem komunikasi dan pengembangan kebijakan komunikasi (Hanif Suranto; 2006).

Sebagaimana yang telah disinggung di atas, bahwa paradigma developmentalisme yang menjadi landasan pembangunan Orde Baru telah menimbulkan berbagai permasalahan, yaitu khususnya munculnya berbagai konflik antara komunitas. Terkait dengan hal tersebut, terdapat beberapa peran yang mampu dilakukan oleh media komunitas dalam resolusi konflik, yaitu:
1.     Meningkatkan pemahaman bersama antar pihak berkonflik dengan cara memfasilitasi tersedianya informasi yang cukup yang bisa dijadikan dasar pijakan bersama antar pihak yang berkonflik dalam berkomunikasi. Hal ini bisa dilakukan dengan mengkaji dan memaparkan secara jelas tidak hanya efek konflik (baik psikis maupun fisik), masalah inti konflik, hingga ke akar konflik;
2.     Mengembangkan nilai dan sikap toleransi atas keberagaman dengan cara memfasilitasi penyediaan informasi mengenai nilai-nilai dan sikap toleransi atas keberagaman yang dipraktekan dalam masyarakat/komunitas. Hal ini dilakukan dengan cara menggali pengalaman-pengalaman anggota komunitas berkonflik yang menjunjung nilai-nilai toleransi baik dalam kontek sejarah maupun kebudayaan komunitas;
3.     Melakukan monitoring dengan cara memfasilitasi penyediaan informasi mengenai upaya pihak-pihak yang mempertahankan nilai-nilai perdamaian dan pihak-pihak yang mencegah pelan terhadap nilai-nilai perdamaian, serta upaya-upaya atau tindakan-tindakan pihak-pihak yang melanggar nilai perdamaian;
4.     Melakukan advokasi kepada pihak-pihak yang voiceless dengan cara memfasilitasi penyediaan akses kepada pihak-pihak tersebut sehingga dapat turut berpatisipasi dalam proses komunikasi (Hanif Suranto; 2006).






IV.  PERAN PENATAAN RUANG DALAM PEMBERDAYAAN MASYARAKAT
Dikaitkan dengan penanggulangan kemiskinan, peran penataan ruang yang dilakukan melalui proses peran serta masyarakat yaitu :
1.    Meningkatkan pendapatan dan asset masyarakat melalui pembangunan infrastruktur.
Dengan terwujudnya sistem sarana dan prasarana yang baik, maka aksesibilitas masyarakat dalam berusaha akan meningkat. Dengan demikian, kondisi tersebut akan menurunkan biaya-biaya produksi yang dilakukan oleh masyarakat sehingga lingkungan yang kondusif untuk berinvestasi akan terwujud.
2.    Memperkuat institusi yang dapat menyalurkan aspirasi masyarakat dan meningkatkan peran serta masyarakat dalam pembangunan. Melalui penataan ruang yang melibatkan masyarakat pada akhirnya akan tercipta institusi yang akuntabel, transparan, dan responsif terhadap kebutuhan masyarakat. Dengan terdapatnya lingkungan yang kondusif tersebut, akan meningkatkan kepastian pelaku ekonomi sehingga dapat menggairahkan iklim berinvestasi yang pada akhirnya dapat meningkatkan taraf hidup masyarakat.
3.    Meningkatkan kapasitas masyarakat sehingga masyarakat dapat menghadapi tantangan yang dihadapinya. Melalui proses advokasi dan pendampingan dalam penataan ruang, diharapkan dapat meningkatkan kapasitas masyarakat untuk berpartisipasi dalam pembangunan. Pada akhirnya, masyarakat dapat mengupayakan kepentingannya dalam pembangunan dan dapat meningkatkan kemampuan mereka dalam berusaha.

Dalam kaitan dengan upaya untuk melibatkan masyarakat dalam penataan ruang guna mendukung pembangunan wilayah, maka beberapa prinsip dasar adalah sebagai berikut:
1.    Menempatkan masyarakat sebagai pelaku yang sangat menentukan dalam proses penataan ruang;
2.    Memposisikan pemerintah sebagai fasilitator dalam proses penataan ruang;
3.    Menghormati hak yang dimiliki masyarakat serta menghargai kearifan lokal dan keberagaman sosial budayanya;
4.    Menjunjung tinggi keterbukaan dengan semangat tetap menegakkan etika;
5.    Memperhatikan perkembangan teknologi dan profesional.
Prinsip - prinsip dasar tersebut dimaksudkan agar masyarakat sebagai pihak yang paling terkena akibat dari penataan ruang harus dilindungi dari berbagai tekanan dan paksaan pembangunan yang dilegitimasi oleh birokrasi yang sering tidak dipahaminya. 
Mengacu pada prinsip tersebut sebenarnya telah banyak keterlibatan masyarakat dalam berbagai tingkatan proses pembangunan, termasuk dalam proses Penataan Ruang, namun sangat sedikit catatan yang bisa dikedepankan pada kesempatan ini. Sebagai gambaran dari sebagian potret dan upaya terlibatnya masyarakat dalam proses penyelenggaraan Penataan Ruang beberapa profil singkat dari berbagai stakeholder dapat digambarkan sebagai berikut.
Menurut catatan Hetifah (2002) IPGI (Indonesian Partnership on Local Governance Initiative), misalnya, mencoba melakukan proses riset aksi di tiga kota sebagai upaya membangun body of collective knowledge tentang partisipasi dan governance. Informasi yang didapat dari riset aksi yang serupa ini selayaknya diseminasi secara efektif karena bagi mereka yang terlibat dalam proses perubahan, informasi berbasis pengalaman serupa ini ibarat “bahan bakar”.

Publikasi meluas tentang berbagai pengalaman uji coba akan menghasilkan efek katalis untuk mempromosikan inovasi dalam penyelenggaraan partisipasi dan good governance.
Pengalaman The Governance and Local Democracy (GOLD) Project di Filipina yang rutin mempublikasikan seri Occasional Paper adalah salah satu contoh efek katalis tersebut. Publikasi GOLD menunjukkan kontribusi penting sebagai sumber informasi wacana dan perdebatan proses desentralisasi dan devolusi akibat munculnya Local Government Code tahun 1991. Paper – paper tersebut mengemukakan pengelaman berbagai daerah berkaitan dengan topik manajemen pemerintahan local, pelayanan publik, partisipasi warga dan isu – isu kebijakan. Asosiasi Pemerintah Daerah (Leagues of Local Goverment) di tingkat propinsi, kota dan kabupaten di Filipina memiliki posisi kunci dalam membantu mendifusikan inovasi antar-anggotanya.

Di Indonesia, upaya serupa dikembangkan dalam program Breakthrough Urban Initiatives for Local Development (BUILD). Pengalaman dan hasil – hasil aktivitas BUILD mengembangkan inovasi manajemen perkotaan di sembilan kota di Indonesia disebarkan melalui media BUILD dan website. Upaya lain dikembangkan URDI (Urban and Regional Development Institute) dan USAID melalui proyek Monitoring dan Evaluasi Proyek – Proyek USAID di bawah Office of Decentralization and Local Government. Salah satu program yang disebut Local Government Best Practise mencoba mengidentifikasi berbagai inovasi yang telah dikembangkan dan diimplementasikan Pemerintah Daerah. Hasil identifikasinya tentunya akan disebarluaskan dan diharapkan dapat menjadi katalis sekaligus “energizer” gerakan mewujudkan good government.

Bukan hanya CSO, tetapi lembaga internasional seperti Perserikatan Bangsa – Bangsa, juga concern terhadap proses pemberdayaan masyarakat, yang antara lain melalui  program hibah yang diberikan kepada pemerintah, NGOs, CBOs dan Universitas seperti:
Ø  Di bawah National Governance Programme: 1) Partnership to Support Governence Reform in Indonesia – Kemitraan adalah program disseminasi pengetahuan tentang pengalaman good governance yang melibatkan pemerintah, donor dan CSOs; 2) Technical Assistance for Parliamentary and Public Participation. Wujudnya adalah mendukung dan melengkapi DPR dengan media center.
Ø  Di bawah Local Governance Programme: 1) Poverty Allevation Thourgh Rural-Urban (PARUL); 2) Brekthrough Urban Initiatives for Local Development – BUILD (Januari 1998 sampai 2000) adalah program untuk memperkuat kapasitas manajemen perkotaan dalam rangka menghadapi otonomi daerah; 3) Support for Local Parliament

Demikian juga United States Agency for International Development (USAID) concern dalam pemberdayaan masyarakat melalui antara lain program hibah yang diberikan kepada pemerintah dan CSOs:
Ø  Di bawah Decentralization and Local Government Office :
1.    Membuat Pedoman Penyusunan Program Dasar Pembangunan Perkotaan (PDPP) untuk merespon pelaksanaan otonomi daerah beserta pelatihannya;
2.    Mendorong terbentuknya asosiasi propinsi dan asosiasi walikoya;
3.    Mendorong dan membiayai pengembangan hubungan antara kota di Indonesia dan kota di USA sebagai sarana pembelajaran.
Ø  Di bawah Democracy Office: Civil society Support and Strengthening Program (CSSP) adalah program penguatan dan peningkatan kapasitas CSO untuk mepengaruhi pemerintah untuk berubah melalui cara – cara produktif dan tidak destruktif.
Selain itu Department for International Development (DFIF) concern juga dalam pemberdayaan masyarakat melalui antara lain program hibah dan asistensi bagi pemerintah dan civil society dalam kerangka pengurangan kemiskinan dengan memberikan bantuan untuk :
1.  Upaya proses konsultasi masyarakat dalam perencanaan pembangunan;
2. Menyediakan tenaga ahli untuk membangun mekanisme kemitraan yang memenuhi tuntutan rakyat, analisis dampak korupsi serta penyusunan kebijakan tentang korupsi;
3. Mengembangkan program multistakeholdels untuk memperbaiki peluang mencari kehidupan bagi kelompok miskin.
Tidak ketinggalan juga Gesellschaft fur Technische Zusammenarbiet (GTZ) concern dalam pemberdayaan masyarakat melalui antara lain program technical cooperation dalam perencanaan, implementasi, evaluasi program, bantuan tenaga ahli bila dibutuhkan serta bantuan dana dan perlengkapan kegiatan yang diberikan kepada pemerintah berdasarkan kesepakatan bilateral:
Ø  Di bawah Decentralization and Local Governance Policy Development Support: 1) Proyek Pendukung Pemantapan Penataan Desentralisasi (P4D-tahun 1992 sampai Juli 2002) adalah proyek bagi penyempurnaan kerangka perundang – undangan 22/199 untuk pemerintah Kabupaten/Kota dan mendukung proses pelaksanaannya. Proyek ini mendorong gagasan inovatif pada pemerintah daerah dan meningkatkan kapabilitas pemda dalam men-drivery pelayanannya. Kegiatan ini cukup menonjol pada program BUILD-UNDP.
Ø  Memberikan small grant kepada LSM untuk gagasan yang dianggap inovatif dalam mendorong partisipasi dan good governance.
Ø  Membuat studi – studi baik yang lakukan sendiri, melalui dukungan para LSM dan lembaga “semi” LSM, Perguruan Tinggi maupun dengan menyewa konsultan tentang berbagai aspek governance, termasuk pengembangan institusi local dan social capital.
Ø  Membuat pilot project untuk pendekatan partisipatoris dalam pembangunan. Pendekatan ini dilakukan hamper oleh semua lembaga donor.
Ø  Membuat program penghargaan bagi upaya inivasi dalam governance, seperti yang telah dijalankan oleh Ford Foundation di berbagai negara.

Harus diakui pula bahwa sebenarnya, proses perencanaan pembangunan wilayah/daerah di Indonesia, secara konseptual sudah diarahkan pada system perencanaan dari bawah (Bottom-up Planning). Dalam proses tersebut perencanaan dimulai dari lingkungan masyarakat terendah, yaitu masyarakat desa yang dikembangkan melalui konsep Perencanaan Partisipatif Pembangunan Masyarakat Desa (P3MD). Namun karena rendahnya keterlibatan masyarakat secara aktif, maka perlu terus disosialisasikan proses penyelenggaraan Penataan ruang secara lebih baik agar terjadi peningkatan peran dalam pembangunan.
Strategi yang perlu dilakukan dalam mendorong proses partisipasi menuju good government di Indonesia adalah:

a. Peningkatan Kesadaran (Awareness Raising)
Ø  Memperkaya konsep – konsep pembangungan partisipatoris dalam pengembilan keputusan publik. Salah satu konsep dari kalangan CSOs yang berhasil didiseminasikan kepada policy makers adalah Konsep Pembangunan Perumahan yang Bertumpu Pada Kelompok (P2BKP)
Ø  Mendorong kesadaran eksekutif dan legislatitif agar lebih membuka diri terhadap partisipasi warga. Ratusan seminar, workshop dan pelatihan telah dilakukan untuk mengangkat aspek partisipasi ke dalam  proses pembangunan
Ø  Mendorong permintaan yang lebih besar untuk partisipasi dan akuntabilitas dengan meningkatkan kesadaran warga tentang kebutuhan dan hak mereka berpartisipasi dalam proses perencanaan dan pengambilan keputusan publik. Kegiatan utama berupa pendampingan, pelatihan serta kampanye publik.

b. Advokasi Kebijakan (Policy Advocacy)
Ø  Membangun legal framework berupa kebijakan dan peraturan yang mendorong partisipasi. Upaya yang telah dilakukan antara lain mengkritisi dan memberikan masukan untuk revisi UU 22/99 tentang Pemerintahan Daerah, penyusunan Keppres tentang Pengaturan Desa, perda – perda yang terkait dengan pemerintahan daerah termasuk Perda pembentukan Badan Perwakilan Desa (BPD), Dewan Kelurahan dan Perda Partisipasi. Peraturan lain yang sedang dipartisipasikan CSOs adalah desentralisasi fiksal ke tingkat bawah serta kejelasan pembagian kewenangan di level kota, kecaman dan desa.
Ø  Mendorong proses yang lebih partisipatoris dalam penyusunan peraturan dengan melibatkan stakeholder. Perumusan materi perancangan Keppres tentang Pengaturan Desa misalnya, dilakukan melalui seri Konsultasi Publik di berbagai daerah yang dimotori Forum Pengembangan Partisipasi Masyarakat (FPPM). Hasilnya menjadi bahan masukan bagi tim reviewer yang anggotanya juga berasal dari berbagai kalangan ornop, akademisi dan pemerintah (Depdagri)
Ø  Memberikan insentif/penghargaan terhadap inovasi untuk mendorong partisipasi. Gagasan ini masih dalam tahap inisiasi
Ø  Mendorong terbentuknya berbagai partnership antara Pemerintah dengan komponen civil society dengan jalan mendesain dan melakukan uji coba proyek – proyek inovatif dan partisipatif.
Ø  Memantau program/proyek pemerintah khususnya yang mengandung komponen partisipasi. Pendekatan yang digunakan oleh CSOs seperti JARI Indonesia dan COMBINE adalah pemnatauan berbasis komunitas.
Ø  Mempengaruhi kebijakan dan strategi lembaga – lembaga donor internasional tentang partisipasi dan governance. Caranya antara lain dengan aktif terlibat dalam proses konsultasi yang dilakukan berbagai lembaga donor ketika melakukan policy dan strategi bantuannya. Cara lain adalah melakukan pemantauan proyek pembangunan yang dibiayai lembaga keuangan.

c. Pengembangan Institusi (Institution Building)
Ø  Mendorong terbentuknya Forum Warga (Forum Perkotaan)/Dewan Kota
Ø  Memperbaiki kualitas partisipasi antara lain dengan menjamin keterlibatan kelompok perempuan dan kelompok marjinal lainnya dalam proses partisipasi
Ø  Memperkuat jaringan antar-NGOs/POs/CBOs di daerah agar terjadi shared learning antar-institusi sehingga menjadi lebih efektif menjalankan perannya mendorong good governance.
Ø Membangun strategic linkage dengan lembaga donor internasional
Ø Mendampingi komunitas mencari alternatif pembiayaan untuk membiayai rencana yang disusun secara partisipatoris
Ø Memfasilitasi upaya penguatan institusi melalui civil education untuk membangun kesadaran, mengembangkan kekuatan dan mengasah keterampilan berpartisipasi secara efektif.

d. Pengembangan Kapasitas (Capacity Building)
Ø Mengembangkan berbagai metode alternatif dan teknik – teknik partisipasi. Upaya ini cukup serius dikembangkan Studio Driya Media dan Kaukus 17++, sebuah aliansi CSOs di bidang pengembangan Forum Warga. Aliansi ini mengadopsi dan menyebarluaskan Technology of Participation (ToP) yang sudah popoler terlebih dahulu di Filipina.
Ø  Menyediakan skilled facilitator untuk memfasilitasi proses partisipasi. Pelatihan untuk Community Organiser (CO) dilakukan oleh banyak lembaga untuk mengkader fasilitator – fasilitator handal. INSIST bahkan telah mengembangkan kurikulum khusus bagi para fasilitator.
Ø Membangun system informasi dan komunikasi berbagai komunitas antara lain membangun popular media in participation, mengembangkan radio komunitas dan membangun mailis tentang partisipasi dan community based development.
Ø Melakukan pelatihan penggunaan metode partisipatoris baik untuk aparat pemerintah, aktivis, LSM maupun warga.

Thanks U All, semoga bermanfaat......

Comments
0 Comments

Kumpulan Peta

 

Cerah

Now